Marilah Berdo’a dengan Bahasa
Terbaik
Ust. Hasan Bishri, Lc. (Konsultan
Ruqyah Syar’iyah Indonesia 0815 816 7874)
Muqoddimah
Bismillah wal Hamdulillah. Suatu saat penulis mendengar dari seseorang ungkapan berikut: “Heran dan
teramat mengherankan, mengapa doa itu disampaikan dengan bahasa Arab? Allah itu
Maha Pandai, Maha Memahami, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, dan Maha
Berkemampuan Memahami maksud hamba-Nya. Artinya, Allah mampu memahami maksud
hamba-Nya meskipun dengan bahasa selain Bahasa Arab.
Maka, alangkah baiknya jika
doa itu disampaikan dengan bahasa lokal dan atau bahasa nasional. Pendengar perlu memahami isi doa agar pendengar dapat menjiwai permohonan yang disampaikan kepada Allah SWT. Dengan memahami isinya, suasana pun akan berjalan khusu’ dan hikmat dalam keheningan menikmati permintaan kepada Allah. Hendaknya doa tidak disampaikan dengan bahasa asing yang sulit dipahami pendengar. Jika pendengar tidak mengetahui maksud atau isi doa, biasanya mereka justru akan membuat ulah atau gaduh.”
doa itu disampaikan dengan bahasa lokal dan atau bahasa nasional. Pendengar perlu memahami isi doa agar pendengar dapat menjiwai permohonan yang disampaikan kepada Allah SWT. Dengan memahami isinya, suasana pun akan berjalan khusu’ dan hikmat dalam keheningan menikmati permintaan kepada Allah. Hendaknya doa tidak disampaikan dengan bahasa asing yang sulit dipahami pendengar. Jika pendengar tidak mengetahui maksud atau isi doa, biasanya mereka justru akan membuat ulah atau gaduh.”
Mungkin ungkapan di atas juga
pernah Anda dengar, atau itu merupakan prinsip berdo’a yang ada di pikiran
Anda. Memang, Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui dengan bahasa apapun
kita berdo’a dan memohon kepada-Nya, jangankan dengan ungkapan kata-kata, do’a
dalam hati-pun Allah Maha Mengetahui dan Maha Mendengarnya.
Kalau setiap orang diberi
kebebasan untuk mengekspresikan diri dalam beribadah kepada Allah, niscaya
agama ini akan carut-marut dan syari’at akan kacau. Tidak ada aturan yang baku
dan pakem yang jelas dalam beragama. Padahal fungsi agama adalah untuk
membimbing kita dengan ajaran-ajarannya agar bisa beribadah kepada Allah dengan
benar, agar tercapai kebahagiaan yang kita cari, yaitu dunia dan akhirat. Tidak
hanya itu, Allah juga mengutus seorang Rasul untuk memberikan contoh nyata
(teladan konkrit) guna menerjemahkan ajaran secara aplikatif dalam kehidupan
sehari-hari.
Kenapa Harus Bahasa Arab
Dari sekian banyak bahasa di dunia ini, Allah telah
memilih bahasa Arab sebagai bahasa wahyu dan bahasa syari’at untuk Nabi dan
Rasul terbaik-Nya, Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam. Itu bukan
kebetulan karena Rasulullah orang Arab dan juga tidak ada hikmah khusus atau
keistimewaan tersendiri. Ketentuan Allah pasti sarat hikmah dan sangat
istimewa, meskipun terkadang kita tidak tau keistimewaannya karena keterbatasan
ilmu kita.
Simaklah firman Allah ta’ala berikut, “Sesungguhnya
Kami menurunkan al-Qur'an dengan berbahasa arab, agar kamu memahaminya.” (QS.
Yusuf: 2). Memahami bahasa Arab itu perintah Allah, agar kita bisa memahami
al-Qur’an. Kalau kita mengaku cinta pada al-Qur'an, maka kita akan berusaha
keras untuk bisa memahami apa maunya al-Qur'an. Dan tidak ada cara yang tepat
untuk mewujudkan hal itu, kecuali dengan mempelajari bahasa Arab sebagai bahasa
al-Qur'an. Kalaupun kita tidak bisa memahami bahasa Arab secara keseluruhan,
kita harus memahami ungkapan berbahasa Arab yang berkaitan dengan ibadah kita
sehari-hari, termasuk makna dari rangkaian do’a-do’a yang kita baca.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
"Al-Qur'an diturunkan dengan bahasa Arab, karena bahasa Arab adalah bahasa
yang paling fashih, paling jelas, paling luas, paling lengkap untuk menjangkau
setiap ungkapan yang dibutuhkan jiwa manusia. Maka dari itu kitab yang paling
mulia (al-Qur'an) diturunkan dengan bahasa yang paling mulia, diberikan kepada
Rasul yang paling mulia (Muhammad), dengan perantara malikat yang paling mulia
(Jibril), di tempat yang paling mulia (Makkah dan Madinah), proses penurunannya
dimulai pada bulan yang paling mulia (Ramadhan). Sehingga al-Qur'an menjadi
sempurna jika ditinjau dari berbagi sisi." (Lihat Kitab Tafsir Ibnu
Katsir: 2/ 565).
Penegasan Para Ulama’
Dalam Kitab Tafsirnya, Imam
al-Qurthubi rahimahulloh berkata, “Seyogyanya seseorang
menggunakan do’a-do’a yang tercantum dalam al-Qur’an dan berbagai hadits yang
shahih (valid), serta meninggalkan berbagai do’a yang tidak bersumber dari
keduanya. Janganlah ia mengatakan, “Saya telah memilih do’a sendiri (untuk
diriku)”, karena Allah ta’ala telah memilihkan dan mengajarkan berbagai do’a
kepada nabi dan para rasul-Nya (dalam al-Qur’an dan sunnah nabi-Nya)”. (Kitab
al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an: 4/ 226).
Imam al-Qadhi ‘Iyadh rahimahulloh berkata,
“Allah menyuruh kita untuk memohon (berdo’a) kepada-Nya, dan Dia telah
memberitahukan (berbagai macam) do’a di dalam kitab-Nya kepada makhluk-Nya.
Begitu pula dengan nabi, beliau telah mengajar umatnya berbagai bentuk do’a.
Do’a-do’a tersebut mengandung tiga hal, yaitu ilmu tauhid, ilmu
bahasa, dan nasihat kepada umat ini. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh
berpaling dari do’a yang diajarkan nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
(Sangat disayangkan saat ini), syetan telah memperdaya
manusia dari kedudukan yang agung ini, dia mendatangkan orang-orang jahat yang
merekayasa berbagai do’a buatan untuk mereka, sehingga mereka sibuk melafazhkan
dan melantunkan do’a tersebut dan tidak mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Kitab al-Futuhatur Rabbaniyah:
1/ 17).
Kritik dan Nasihat Untuk Kita
Apa yang
disampaikan oleh kedua ulama’ di atas merupakan nasihat dan kritik pedas bagi
kita semua yang selama ini tidak begitu perhatian dengan bahasa wahyu, bahasa
Arab. Sehingga kita lebih suka memakai bahasa lain dalam berdo’a daripada
bahasa yang Allah pilihkan, karena kita tidak paham bahasa Arab. Akhirnya kita
tinggalkan do’a dari al-Qur’an dan dari Hadits Rasulullah, lalu kita beralih ke
do’a rangkaian sendiri. Kita lupakan rangkaian do’a yang Allah ajarkan dan yang
Rasulullah contohkan.
Kedua ulama’
tersebut menasihati kita sebagai kaum muslimin untuk menggunakan berbagai do’a
yang bertebaran di dalam al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang shahih, karena berbagai do’a yang tercantum di dalam dua sumber
tersebut merupakan wahyu yang nihil dari kesalahan, dan rangkaian kalimat yang
telah Allah pilih sebagai bahasa kita untuk berkomunikasi dan bermunajat
kepada-Nya.
Perkataan
kedua ulama’ tersebut juga merupakan kritik pedas bagi kita yang terkadang
lebih mengedepankan do’a-do’a buatan yang tidak bersumber dari wahyu (al-Qur’an
dan Hadits). Dalam meminta kebaikan kepada-Nya, atau memohon agar dihindarkan
dari keburukan, kita lebih memprioritaskan penggunaan rangkaian do’a yang
diperoleh dari guru-guru spiritual, lalu mengesampingkan do’a-do’a yang
besumber dari al-Qur’an dan hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Saran Ibnu Taimiyah rahimahullah
Dalam sebuah
kitab, Imam Ibnu Taimiyah rahimahulloh juga menegaskan, “Manusia
seharusnya berdo’a dengan do’a-do’a yang diajarkan Syari’at, yang terdapat
dalam al-Qur’an dan Hadits Rasul, karena tidak disangsikan lagi akan keutamaan
dan kebaikannya. Sungguh itulah jalan yang lurus, jalan orang-orang yang
dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiiqiin, syuhada, dan shalihin,
dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (Kitab al-Futuhatur Robbaniyah:
1/ 17).
Di Kitab
yang lain, dia menambahkan, “Tidak diragukan lagi bahwa dzikir dan do’a
termasuk ibadah yang utama, dan ibadah terbangun di atas pondasi Tauqif (yang telah dibakukan syari’at)
dan Ittiba’ (mengikuti ketentuan
syari’at), bukan mengikuti keinginan pribadi dan Ibtida’ (berinovasi).
Dengan
demikian berbagai do’a dan dzikir yang dituntunkan oleh Nabi merupakan kalimat
yang terbaik. Orang yang mengikuti tuntunan Nabi dalam berdo’a dan berdzikir
berada di atas jalan keamanan dan keselamatan. Berbagai faedah yang terkandung
di dalamnya tidak dapat diungkapkan oleh lisan dan tidak dapat diketahui oleh
manusia. Adapun berbagai dzikir selain yang dituntunkan Nabi terkadang
berstatus haram, makruh atau bahkan berstatus syirik. Naifnya lagi, betapa
banyak orang yang tidak memperoleh petunjuk (tidak sadar) dalam hal ini.”
(Kitab Majmu’atul Fatawa: 1/ 346).
Bagaimana
mungkin seorang muslim meninggalkan berbagai keutamaan dan kebaikan yang telah
nyata terdapat dalam do’a-do’a yang tercantum dalam al-Qur’an, lalu ia lebih
mengutamakan untuk berdo’a kepada Dzat yang mengajarkan do’a-do’a tersebut
dengan rangkaian do’a buatan sendiri, atau yang dibuat-buat oleh guru
spititualnya, kyai, ustadz, dan makhluk-makhluk lainnya? Padahal rangkaian do’a
tersebut belum tentu disukai Allah, dan belum jelas keutamaan dan khasiat yang
terkandung di dalamnya.
Rasulullah Melakukan Koreksi
Dalam sebuah riwayat yang shahih
diceritakan bahwa Rasulullah mengoreksi do’a salah seorang shahabatnya, karena
do’a tersebut adalah hasil dari inofasinya dan rangkaian kalimat yang dibuat
sendiri. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah menjenguk seorang yang sakit mendadak sehingga
badannya pun melemah. Maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
bertanya, “Apakah engkau berdo’a atau meminta dengan lafadz do’a tertentu?”
Pria
tersebut menjawab, “Benar, saya memanjatkan do’a dengan lafadz berikut:
“Wahai Allah, segala adzab yang Engkau sediakan untukku di akhirat,
segerakanlah di dunia ini.” Nabi pun berkata, “Subhanallah, engkau tidak
akan mampu memikulnya, mengapa engkau tidak mengucapkan, “Wahai Allah
berikanlah kami kebaikan di dunia dan di akhirat, serta peliharalah kami dari
siksa api neraka.” Anas radhiyallohu’anh berkata, “Pria itu
berdo’a dengan do’a tersebut dan Allah pun memberi kesembuhan kepadanya.
(HR. Muslim).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mengajarkan seorang shabatnya rangkaian do’a, padahal shahabat
tersebut asli orang Arab yang tentunya sangat fashih berbahasa Arab, dan
pastinya sangat mahir untuk merangkai kalimat do’a sendiri sesuai dengan
seleranya. Shahabat tersebut bernama al-Barro’ bin ‘Azib: “Ya Allah, aku menyerahkan diriku
kepada-Mu,menghadapkan wajahku kepada-Mu, menyerahkan semua urusanku kepada-Mu,
menyandarkan punggungku kepada-Mu, karena mengharap dan takut kepada-Mu. Tidak
ada tempat berlindung dan menyelamatkan diri dari ancaman-Mu kecuali kepada-Mu.
Aku beriman kepada kitab yang Engkau turunkan dan kepada nabi yang Engkau
utus.” (HR. Muslim,
no. 2710).
Yang menarik
untuk kita perhatikan adalah sikap Rasulullah. Yaitu saat al-Barro’ berusaha
menghafal do’a yang telah diajarkan Rasulullah, ada kekeliruan sedikit. Karena
al-Barro’ mengganti kalimat “Nabiyyika”
dengan “Rosulika”. Beliau langsung
mengoreksinya, dan mengajarkan kalimat yang pas seperti yang telah didektekan.
Sehingga
Imam Ibnu Ibnu Hajar al-‘Asqolani rahimahullah
tertarik untuk mengulas peristiwa tersebut. Dia berkata, “Hikmah yang paling
utama dari tindakan penolakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
shahabat yang mengucapkan lafadz “Rosul” sebagai ganti lafadz “Nabi”, karena
lafazh-lafazh dzikir adalah Tauqifiyah (dibakukan syari’at), dan lafazh itu
memiliki berbagai kekhususan dan rahasia yang tidak bisa diketahui oleh akal,
sehingga wajib menggunakan lafadz do’a yang disyari’atkan (terdapat dalam
al-Quran dan Sunnah).” (Kitab Fathul Bari: 11/ 112).
Abdullah bin
Mughaffal radhiyallohu’anh juga pernah mengoreksi anaknya saat berdo’a
seraya menasihatnya,“Wahai anakku, cukuplah engkau meminta surga kepada
Allah dan meminta perlindungan kepada-Nya dari api neraka. Sesungguhnya aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan ada
sekelompok orang dari umat ini yang melampaui batas dalam bersuci dan berdo’a”.
(HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Perhatikan
koreksi Abdullah bin Mughaffal radhiallahu ‘anhu terhadap do’a yang
dipanjatkan anaknya, yang merupakan hasil rekayasa sang anak. Hal ini
menunjukkan pada kita, do’a yang tidak bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah
rentan keliru dan salah.
Khotimah
Akhirnya,
mari kita renungkan kritik soisial yang disampaikan oleh seorang ulama’ yang
bernama Syekh Abdurrazzaq hafizhahullah: “Siapa yang merenungkan
realitas sebagian kaum muslimin saat ini, terlebih mereka yang berafiliasi
kepada sebagian Thoriqot Sufi, akan menjumpai bahwa mereka sibuk mengerjakan
berbagai macam dzikir dan do’a hasil inovasi manusia, yang diada-adakan (hasil
racikan sendiri). Mereka pun membacanya siang dan malam, sepanjang pagi dan
petang.
Sehingga
mereka meninggalkan (do’a-do’a) yang terdapat dalam al-Qur’an, berpaling dari
berbagai do’a yang berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setiap Thoriqot memiliki wirid-wirid khusus yang dibaca dengan metode tertentu,
sehingga setiap thoriqot Sufi memiliki kumpulan wirid dan hizb khusus. Setiap
kelompok saling membanggakan wirid dan hizib yang dimiliki dan berkeyakinan
bahwa wirid tersebut lebih afdhal daripada wirid yang dimiliki Thoriqot Sufi
yang lain.” (Kitab Fiqhul Ad’iyati wal Adzkar: 2/ 54).
Lalu bagaimana dengan kita, sudahkah kita koreksi
rangkaian do’a-do’a yang biasa kita baca sehari-hari? Sudahkah sesuai dengan yang
diajarkan Allah dan Rasul-Nya? Atau kita masih lebih suka dengan do’a hasil
rangkaian sendiri atau hasil inovasi guru spiritual yang kita kagumi, akhirnya
kita mengabaikan ajaran Allah dan Rasul-Nya, dan kita malas menghafal kalimat
do’a yang telah diajarkan Allah dan Rasul-Nya? Belum telat rasanya kalau
sekarang kita melakukan koreksi. Walllohu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar