Hukum Berobat dalam Islam
by. Hasan Bishri, Lc. (Pimpinan Graha Ruqyah Salemba Jakpus).
Silakan hubungi nomer ini: 08787 4151 924, 08129 3141 843 untuk dapat Layanan Ruqyah Syar’iyah Spesial)
by. Hasan Bishri, Lc. (Pimpinan Graha Ruqyah Salemba Jakpus).
Silakan hubungi nomer ini: 08787 4151 924, 08129 3141 843 untuk dapat Layanan Ruqyah Syar’iyah Spesial)
Muqoddimah
Bismillah wal hamdulillah. Siapa
yang tidak pernah sakit? Siapa yang belum pernah berobat? Saya kira jawabannya
gak ada. Setiap orang tau apa yang dimaksud dengan berobat. Namun tidak semua
orang tau apa hukum berobat dalam pandangan syari’at Islam?
Berobat merupakan perkara yang
diperselisihkan hukumnya di kalangan para ulama. Tentunya perselisihan mereka
berangkat dari perbedaan dalam memahami dalil-dalil yang datang pada bab ini.
Terdapat tiga pendapat di kalangan para ulama dalam menentukan hukum berobat.
Pendapat Ulama’ dalam Berobat
Pertama, menurut sebagian ulama
bahwa berobat diperbolehkan tetapi yang lebih utama tidak berobat. Ini
merupakan madzhab yang masyhur dari Al-Imam Ahmad rahimahullah.
Kedua, menurut sebagian ulama bahwa
berobat adalah perkara yang disunnahkan. Ini merupakan pendapat para ulama
pengikut madzhab Syafi’i rahimahumullah. Bahkan Imam An-Nawawi rahimahullah
dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim menisbahkan pendapat ini kepada madzhab
mayoritas salaf dan kholaf. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Abul Muzhaffar.
Beliau berkata, “Menurut madzhab Abu Hanifah bahwa berobat adalah perkara yang
sangat ditekankan. Hukumnya hampir mendekati wajib.”
Ketiga, menurut sebagian ulama bahwa
berobat dan meninggalkannya sama saja, tak ada yang lebih utama. Ini merupakan
Madzhab Al-Imam Malik rahimahullah. Beliau berkata, “Berobat adalah
perkara yang tidak mengapa demikian pula meninggalkannya.” (lihat kitab Fathul
Majid: 88-89).
Rincian Hukum dalam Berobat
Syekh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin rahimahullah memiliki metode yang cukup baik dalam
mempertemukan beberapa pendapat di atas. Beliau merinci hukum berobat menjadi
beberapa keadaan, sebagai berikut:
1. Bila diketahui atau diduga kuat bahwa berobat sangat bermanfaat dan meninggalkannya akan berakibat kebinasaan maka hukumnya wajib.
2. Bila diduga kuat bahwa berobat sangat bermanfaat namun meninggalkannya tidak berakibat kebinasaan yang pasti maka melakukannya lebih utama.
3. Bila dengan berobat diperkirakan kesembuhan dan kebinasaannya memiliki kadar kemungkinan yang sama maka meninggalkannya lebih utama, agar dia tidak melemparkan dirinya dalam kehancuran tanpa sadar. (lihat Kitab asy-Syarhul Mumti’: 2/437).
1. Bila diketahui atau diduga kuat bahwa berobat sangat bermanfaat dan meninggalkannya akan berakibat kebinasaan maka hukumnya wajib.
2. Bila diduga kuat bahwa berobat sangat bermanfaat namun meninggalkannya tidak berakibat kebinasaan yang pasti maka melakukannya lebih utama.
3. Bila dengan berobat diperkirakan kesembuhan dan kebinasaannya memiliki kadar kemungkinan yang sama maka meninggalkannya lebih utama, agar dia tidak melemparkan dirinya dalam kehancuran tanpa sadar. (lihat Kitab asy-Syarhul Mumti’: 2/437).
Mengawal Tawakkal saat Berobat
Salah satu sifat orang-orang yang
masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab adalah bertawakkal kepada Allah semata.
Sifat ini bukan berarti mereka tidak menjalani sebab sama sekali. Karena secara
global menjalani sebab merupakan perkara fitrah dan tertanam secara spontan.
Tak seorang pun bisa terlepas dari menjalani sebab. Bahkan bertawakkal itu
sendiri merupakan sebab yang paling terbesar, sebagaimana firman Allah
ta’ala, “Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya.” (Ath-Thalaq: 3).
Dengan demikian mereka hanya
meninggalkan perkara yang makruh walaupun mereka membutuhkannya, dengan tetap
bertawakkal kepada Allah, seperti meminta diruqyah atau dikay.
Mereka meninggalkan perbuatan ini karena keberadaannya sebagai sebab yang
makruh. Terlebih lagi orang yang sakit, dia akan bergantung dengan apa saja
yang dianggapnya sebagai sebab untuk kesembuhannya meskipun dengan rumah laba-laba
(yang sangat lemah).
Adapun menjalani sebab dan berobat
dalam bentuk yang tidak mengandung hukum makruh maka tidak merusak tawakkal.
Oleh karena itu meninggalkannya tidak disyariatkan, sebagaimana yang terpahami
dari hadits-hadits yang telah kita cantumkan di atas. (Lihat Kitab Fathul
Majid: 87-88).
Menjalani sebab bisa menjadi
perbuatan syirik dan bisa pula merupakan perwujudan ibadah dan tauhid kepada
Allah subhanahu wa ta’ala. Menjadi syirik bila orang yang menjalaninya
menyandarkan hati kepadanya, merasa tenang dengannya, dan meyakini bahwa sebab
itu sendiri yang dapat melahirkan akibat tanpa Allah subhanahu wa ta’ala.
Dia berpaling dari Dzat Yang Menciptakan Sebab dan menjadikan perhatiannya hanya
terbatas pada sebab itu.
Sedangkan menjadi tauhid dan ibadah
bila dia menganggapnya hanya sebagai bentuk penunaian, pelaksanaan dan
penegakan hak peribadahan yang terdapat padanya. Lalu menempatkannya pada
tempat yang sesuai. Maka menjalani sebab dengan cara yang seperti ini merupakan
peribadahan dan tauhid kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Karena hal itu
tidak memalingkannya dari menghadapkan hati kepada Dzat Pencipta Sebab.
Urgensi Tawakkal dalam Berobat
Seorang yang bertauhid dan
bertawakkal kepada Allah tetap menjalani sebab tetapi tidak menyandarkan hati,
tenang, berharap, takut dan condong kepadanya. Hatinya hanya tertuju dan
tergantung kepada Zat Pencipta Sebab subhanahu wa ta’ala. Namun bukan
berarti dia menolak, menggugurkan dan mengabaikan untuk menjalani sebab.
Tawakkal tidak benar, baik secara
hukum syariat maupun logika kecuali bila digantungkan hanya kepada Allah
subhanahu wa ta’ala semata. Tak ada di alam nyata ini sebab yang sempurna dan
dapat melahirkan akibat dengan sendirinya kecuali kehendak Allah subhanahu
wa ta’ala.
Kehendak Allah merupakan sebab bagi
segala sebab. Allah telah menjadikan padanya kekuatan yang selalu menuntut
akibat. Tak ada satu sebab pun yang bisa melahirkan akibat dengan sendirinya
melainkan harus disertai oleh sebab yang lain. Allah menjadikan bagi setiap
sebab lawan-lawan dan perkara-perkara yang dapat menghalanginya. Hal ini
tentunya berbeda dengan kehendak Allah subhanahu wa ta’ala. Kehendak-Nya tidak
membutuhkan sebab apapun selainnya. Tak ada sebab apapun yang dapat melawan dan
membatalkannya.
Penutup
Namun terkadang Allah subhanahu
wa ta’ala membatalkan hukum kehendak-Nya dengan kehendak-Nya. Dia
menghendaki sebuah perkara lalu menghendaki lawannya dan perkara yang mencegah
terjadinya. Seluruhnya dengan kehendak dan pilihan Allah. Oleh karena itu
tawakkal tidak dibenarkan kecuali hanya kepada-Nya. Demikian pula penyandaran
diri, rasa takut, harapan, keinginan tidak ditujukan kecuali kepada-Nya. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku berlindung dengan ridha-Mu dari
murka-Mu, dengan pemeliharaanmu dari siksa-Mu. Dan dengan-Mu dari-Mu.” (HR.
Muslim dan Abu Daud).
Apabila kita mengumpulkan antara
bertauhid dan menjalani sebab maka hati kita akan lurus dalam menuju Allah
subhanahu wa ta’ala. Dengan demikian, tampaklah jalan besar yang dilalui
oleh seluruh rasul, nabi dan pengikut mereka. Itulah jalan yang lurus yaitu
jalan orang-orang yang Allah beri nikmat atas mereka. Semoga Allah selalu
membimbing kita. (Lihat Kitab Madarijus Salikin: 3/ 368-369). Wallahu
a’lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar